Edited by Canva

Memahami Bahasa Kasih dalam Hubungan Romantis

Review Cerita Sarah pada Buku Kitab Kawin

Imam Bagus Faisal
4 min readJun 3, 2023

--

Kitab Kawin adalah buku karya Laksmi Pamuntjak yang pertama kali aku baca. Motif yang membuat aku ingin membaca buku itu dilatarbelakangi oleh perbincangan publik yang ramai membahas isu kekerasan seksual, terutama yang menyangkut perempuan. Kemudian setelah aku membaca dan menonton film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas yang ternyata juga membawa pesan terkait toksik maskulinitas, relasi kuasa, unconditional love yang digambarkan oleh pemeran utama: Ajo Kawir dengan burungnya yang tidak bisa berdiri. Aku jadi makin terpantik untuk mencari tahu hal-hal tersebut lebih banyak. Aku ingin mengetahuinya dari kacamata perempuan, meskipun aku seorang laki-laki. Dan yang lebih penting, bahwa aku ingin lebih memahami perempuan dalam relasi romantis.

Tibalah pada suatu waktu aku mendengar Podcast yang membahas bagaimana Kitab Kawin itu lahir, dan setalahnya aku memutuskan untuk membaca buku tersebut.

Kitab Kawin adalah buku yang berisi kumpulan cerita berdasarkan kisah nyata yang membicarakan konsep perkawinan termasuk kedudukan dan problematika perempuan didalamnya. Dengan penulisan yang lugas, to the point, tidak membosankan, dengan kisah-kisah liar menggambarkan realitas yang jarang diungkap dan belum aku ketahui.

Pada kesempatan ini aku akan mencoba memahami dan mengomentari kisah Sarah yang merupakan kitab ketiga dari dua belas kitab (kisah) pada buku Kitab Kawin tersebut. Selain ingin berbagi perspektif, ini juga menjadi pertama kalinya aku me-review; walaupun belum keseluruhan buku. Dan sekaligus menjadi pemantik ide untuk membuat konten ikh.ti.sar ini.

Bahasa kasih I : Cinta tak harus berarti bukan seks

Pada kisah Sarah, aku sedikit mengutip pendapat dari Yudhistira ANM Massardi yang mengatakan bahwa ini adalah eksposisi libido dan dominasi kaum perempuan atas para lelaki yang gagal memaknai kejantanannya dengan berlaku kejam.

Bagaimana tidak, Sarah mengaku selingkuh selama 5 tahun tanpa sedikit pun merasa bersalah. Ini bukan suatu hal yang mustahil bahwa ada juga perempuan yang selingkuh di dunia ini dalam hubungan romantis dengan atau tanpa ikatan perkawinan. Namun pada kisah Sarah ini, ia berselingkuh bukan karena tak diinginkan lagi oleh suaminya melainkan karena suaminya tidak sejantan yang ia bayangkan.

Berbeda dengan selingkuhannya, Jodi. Ia tak pernah bilang pada istrinya: Sayang, aku sudah lima tahun pacaran sama Sarah. Istrinya pun tak pernah bertanya, Apa salahku? Dan Jodi juga tak pernah menjawab, Karena aku ingin tahu bagaimana mencintai dengan lebih baik. Seperti pengakuan Sarah pada Hanin suaminya.
Lima tahun Sarah pacaran dengan Jodi, ia cemberut ketika Jodi membicarakan perempuan lain, tidak lain adalah istrinya yang bukan seorang pencemburu. Dan Jodi selalu sedia untuk istrinya ketika dibutuhkan, ia pun masih bergairah terhadap istrinya (dan sebaliknya). Jodi tak perlu mengaku dosa, karena bukan saja ia mencintai istrinya, ia mencintai istrinya dengan baik. Buktinya setiap mereka selesai berhubungan, jodi mandi bersih-bersih sampai segala yang menyangkut Sarah lenyap. Juga ketika orangtua istrinya Jodi sakit-sakitan, dan ia menanggung semua biaya perawatan mereka. Bagi Jodi, walau bagaimanapun ada yang namanya tanggung jawab, dan tanggung jawab lebih besar dari cinta.

Lantas bagaimana tanggung jawab itu ada dalam hubungan romantis tanpa perkawinan? Tanggung jawab dengan berjanji untuk mengawininya?
Apakah tanggung jawab itu hanya milik laki-laki? Atau juga perempuan?

Lima tahun pacaran dengan Jodi, Sarah menyadari betapa gobloknya ia yang mengira bahwa ialah yang paling ulung di antara perempuan. Dan ia juga tak menyadari bahwa dirinya-lah yang mengobarkan api perkawinan Jodi dan memadamkan api ranjangnya sendiri.

Aku menilai bahwa pengkhianatan dalam hubungan romantis melalui kisah Sarah ini potensial dilakukan atau bahkan dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan.

Bahasa kasih II : Afirmasi

Berbeda dengan Jodi yang selalu tahu apa yang dia inginkan dan menyuarakan ketidakpuasannya. Suami Sarah cenderung lebih demokratis dan membiarkan Sarah memilih dan menentukan. Terlihat saat mereka dalam sebuah restoran lalu Sarah memesan wine dan makanan yang tidak biasa suaminya makan, namun Hanin mengangguk patuh seolah Sarah tak pernah berkhianat padanya.

Menurut Rena —teman Sarah dan Ibunya, bahwa semua laki-laki tak terlatih untuk berpikir tentang istri mereka sebagaimana mereka berpikir tentang diri mereka sendiri, konklusi mereka begitu bertolak belakang. Bagi Rena, itu pertanda suami tak menghargai istri. Bagi ibunya, itu pertanda bentuk penghargaan terselubung suami pada istri. Bagi psikolog Sarah, itu replikasi rasa hormat seorang suami terhadap ibunya. Sementara bagi Sarah, semua laki-laki tak berpikir, titik.
Terlihat sepele, tapi justru hal semacam ini bisa jadi masalah jika didahului oleh sebuah pengkhianatan, bisa jadi sikap patuhnya itu adalah sebuah apatisme dan hilangnya respect sebab Sarah tak merasa bersalah sedikitpun.

Namun dalam hal ini, sikap patuhnya Hanin adalah juga bentuk kesadaran bahwa ia turut andil dalam permasalahan mereka. Dan ketika Hanin memberikan opsi pada Sarah untuk pergi atau tetap tinggal, penegasan ini membuat perasaan Sarah kembali meluap, teringat betapa kagumnya ia pada Hanin dulu.

Bahasa kasih III : Sentuhan dan tindakan pelayanan

Meski bukan selalu tentang seks. Kenyataannya dalam hubungan romantis dengan ikatan perkawinan, kegagalan hubungan fisik dapat membawa dampak pada hal-hal lain dalam perkawinan. Bahwa nafkah lahiriah dan batiniah keduanya sama-sama harus diberikan. Dan untuk memberikan itu, bisa menjadi tanggung jawab suami, dan juga menjadi tanggung jawab bersama. Dan kenyataannya hubungan Sarah dan Hanin berhasil secara lahiriah, namun gagal secara batin.

Lalu bagaimana jika konteksnya tidak ada ikatan perkawinan? Tindakan pelayanan dan sentuhan bisa dilakukan dengan hal lain yang lebih sederhana. Namun ukuran tanggung jawab dalam memenuhi itu mungkin bisa ditakar dari "seberapa tebal iman" atau yang saat ini ramai dibicarakan adalah terkait consent.

Akhirnya, Sarah dan Jodi memulai rumah tangga mereka kembali, meski Sarah tak akan pernah minta maaf. Perasaan Sarah yang kembali meluap, mengalir seperti darah, hangat turun ke bawah, mengendap bersama segala yang butuh diendapkan. Mereka sama-sama belajar bahwa keputusan penting membutuhkan waktu, dan hanya waktu yang bisa menguji kebenarannya.

Meski begitu, pengkhianatan Sarah tak sepatutnya terjadi. Bahwa ada suatu hal yang perlu diketahui adalah bahwa kita tidak akan benar-benar seratus persen paham apa maksud dan keinginan pasangan (dalam sebuah hubungan romantis), jadi jika pun dibilang memahami, itu adalah hafalan dari repetisi yang dilakukan bersama, dan tidak mustahil untuk berubah.

--

--

No responses yet